Perempuan dan Telenovela

Diposting oleh iQko

Sejarah Televisi Indonesia

Melihat perkembangan dari televisi tidak terlepas dari hadirnya Televisi Republik Indonesia (TVRI) pada tahun 1962, walaupun pada saat itu TVRI hanya sanggup untuk melaksanakan siaran selama 30 menit saja. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, TVRI nantinya akan menjadi semacam perekat dalam berbudaya. Mengapa demikian? Karena TVRI melalui program-programnya seperti Dari Desa ke Desa, Musik Pop Daerah, Negeri Tercinta Nusantara, serta tari-tarian tradisional dari seluruh wilayah nusantara, seakan menciptakan kesan bagaimana menjalin persatuan dan kesatuan, bagaimana menerapkan nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan kita, dalam melawan konstruksi yang sudah semakin mengglobal. Dan hal ini seakan menjadi penegasan bahwa TVRI memang dimaksudkan sebagai salah satu jalan bagaimana menyampaikan nilai-nilai lama kepada semua masyarakat.
TVRI sebagai institusi tata nilai lama, tak kemudian hanya menyajikan paket-paket itu saja. Aneka Ria Safari yang di komandoi oleh Eddy Sud merupakan cerminan bahwa sebenarnya perputaran musik di kalangan “bawah” pun hanya berkisar di musik kampung (dalam hal ini musik dangdut tentu saja) dan ini pula yang menjadi pola pergerakan industri musik pada saat itu.
Kemudian terjadilah sebuah perubahan yang sangat berarti di dunia pertelevisian. SK Menteri Penerangan No. 111 Tahun 1990 seakan menjadi tiket terusan dari menjamurnya televisi swasta di Indonesia. RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) sejak September 1990, hadir tanpa decoder. Setelah sebelumnya, RCTI telah on air sejak tahun 1988, tetapi masih menggunakan decoder. Pada tahun 1990 juga kemudian lahir SCTV (Surya Citra Televisi – yang pada mulanya bernama Surabaya Centra Televisi), turut mengambil peran yang cukup signifikan dalam kancah televisi di Indonesia. Dengan membuat kerjasama yang saling menguntungkan RCTI-SCTV kemudian sedikit demi sedikit mencuri perhatian dari masyarakat Indonesia pada saat itu.
Perbedaan teknologi, serta materi siaran seakan menjadi hal yang sangat lumrah kelihatan dari persaingan TVRI dan duet maut RCTI-SCTV. Apalagi kemudian film-film seperti MacGyver, Justice Law, menyedot perhatian tersendiri. TVRI pun berniat menyaingi dengan membuat festival sinetron sepekan yang biasanya hadir pada momen tertentu, misalnya Hari Anak Nasional. Tapi hal ini kemudian tidak berarti apa-apa, dan pasangan RCTI-SCTV—yang kemudian kedua stasiun ini “bercerai” dan melakukan siarannya secara sendiri-sendiri—tetap lebih unggul. Persaingan ini kemudian semakin semarak dan semakin sengit, tentu saja dengan kehadiran stasiun televisi yang lain (AN-Teve di Lampung dan Indosiar Visual Mandiri di Jakarta), yang mulanya hanya bisa siaran lokal, tetapi ini merupakan step pertama mereka dalam kancah pertelevisian.
Ketika semua TV swasta ini siaran menasional, persaingan yang kemudian muncul yaitu hanya memperebutkan satu hal : iklan. Mengapa? Karena tentu saja iklan yang kemudian menjadi roda dari bergeraknya suatu televisi atau tidak. Apalagi televisi swasta tentu saja. Untuk menghidupi sekian banyak karyawan, dibutuhkan dana dari para pemegang iklan. Dan dimanakah kemudian iklan itu akan dipasang? Di sela-sela program televisi yang menjadi produk dari televisi itu sendiri tentu saja. Dan program-program televisi ini seakan-akan menjadi ‘raja’ yang menguasai pemirsanya melalui perantara televisi dan space yang dibutuhkan tentu saja ruang dimana kebanyakan aktivitas dalam suatu keluarga dilakukan.

Ruang Konsumsi

Aktivitas menonton, seperti yang terjadi dalam praktik konsumsi tidak dapat dilepaskan dari lingkungan fisik yang mengelilingi atau menyertainya. Dan salah satu arti dari pentingnya televisi di dalam masyarakat kemudian adalah tidak terletak pada makna tekstual dan interpretasinya, melainkan pada tempatnya di dalam ritme dan rutinitas kehidupan domestic sehari-hari. Adanya keterikatan kemudian antara aktivitas konsumsi dan lingkungan fisiknya, dalam penjelasan John Urry (1995:1 & 28, Via Kris Budiman), disebabkan karena tempat (place) yang mewadahi aktivitas itu menyediakan suatu konteks spasial yang di dalamnya benda-benda dan jasa-jasa dapat digunakan. Ruang, juga sebagaimana dikatakan Massey (1994, via Chris Barker), bukanlah ruang ‘kosong’, melainkan diproduksi secara kultural oleh relasi sosial.
Menonton televisi, terutama, adalah sesuatu yang umum kita lakukan di dalam ‘ruang’ tertentu. Dan biasanya di dalam keluarga, ‘ruang domestik’ ini biasanya berupa ruang keluarga. Kehadiran televisi di ruang keluarga sendiri ikut mempengaruhi hibungan interpersonal diantara anggota keluarga (bdk, Urry, 1995 : 21). Berbagai aspek lingkungan dan interior dalam rumah secara langsung dapat menentukan bagaimana orang menonton televisi. Faktor fisik ini dapat berupa ketersediaan ruang, dan bagaimana pengaturan benda-benda di dalam ruangan tersebut. Ketersediaan ruang ini dapat dilihat pada keluarga urban yang cenderung memiliki ruang yang terbatas dan hanya memiliki satu pesawat televisi. Berbeda pada keluarga menengah keatas yang berpusat di tengah kota, yang biasanya memiliki televisi pribadi di kamar tidurnya. Besar kecilnya ruangan ini turut menentukan, dimanakah nantinya sang televisi akan diletakkan, sehingga televisi biasanya terdapat di dalam ruangan yang menjadi central of activity dalam sebuah keluarga—biasanya di ruang keluarga. Pada pola yang umum, pesawat televisi akan diletakkan sedemikian rupa—pilihannya biasanya salah satu pojok atau sisi ruang tertentu, sehingga jarak edar pandangan bisa menjadi maksimal. Televisi kemudian menjadi focus visual dari suatu ruang yang memiliki banyak fungsi dalam suatu keluarga.
Pada praktik yang lebih lanjut, kegiatan menikmati televisi tidak hanya terikat pada pola ruang saja. Masih ada masalah pengorganisasian waktu yang menautkan aktivitas menonton televisi dengan rutinitas keseharian anggota keluarga (Barrios, 1998 : 65). Kegiatan menonton ini, seolah-olah disisipkan dalam agenda—bahkan tidak sering menjadi agenda utama dari anggota keluarga tertentu apabila menyangkut masalah tayangan favorit—keluarga. Bahkan secara tidak sadar, kegiatan pagi hari dimulai dengan meng-on kan tombol televisi untuk menonton (kalau masih mempunyai jatah waktu yang cukup, biasanya televisi tersebut cukup ‘didengarkan’) dan mengikuti program berita atau yang bersifat informasi lainnya. Ini tentu saja dilakukan berbarengan dengan aktivitas pagi, sarapan, atau berkemas menuju sekolah ataupun kantor. Pola urutan keseharian biasanya ditandai oleh urutan tayangan televisi, misalnya bangun dari tidur siang, mandi sore, makan malam, belajar, ataupun aktivitas lainnya. Tayangan yang ada pun terkadang juga hanya sebagai pengusir rasa bosan atau mengisi waktu yang kosong, atau dapat menjadi semacam terapi refreshement, apabila sedang melakukan aktivitas tertentu. Pengaturan waktu yang sengaja disesuaikan di sekitar program-program televisi biasanya dapat terus berlangsung sampai sehari penuh. Pertanyaan yang timbul : yang manakah program favorit anda? (mengutip salah satu branding penghargaan yang dilakukan oleh SCTV)

Konfigurasi Selera

Bila berkutat dengan pertanyaan yang manakah menjadi program favorit, biasanya akan menjadi pertanyaan yang susah jawabannya. Pilihan yang kemudian muncul bisa berupa satu, dua, atau bahkan tidak ada sama sekali tayangan yang menjadi favorit, yang artinya semua program televisi tersebut sama saja dan tidak dapat memutuskan yang menjadi pilihan utama di sekian banyak acara televisi. Penonton yang termasuk dalam jenis ini biasa disebut omnivision dan dalam pengamatan sekilas terlihat sanggup melahap apa saja yang tersaji di dalam kotak kaca.
Tak mengherankan kalau praktik konsumsi televisi pun, pada titik selanjutnya bukanlah sekadar prosedur mudah untuk “melakukan sesuatu”, melainkan telah sekaligus menjadi praktik pengelolaan kekuasan (managing power), khususnya pengelolaan konflik di sekitar perbedaan selera.
Jenis kelamin, biasanya juga menjadi salah satu penentu mengenai tayangan favorit tertentu. Misalnya, tayangan olahraga dan film-film action cenderung di dominasi oleh kaum adam, sedangkan ibu-ibu sendiri lebih fasih dalam mengikuti perkembangan yang terjadi di dalam dunia hiburan. Jikalau berita-berita yang ter-update, seperti Liputan 6 menjadi pokok perhatian, maka penyeimbangnya tentu saja acara infotainment. Dan lebih khusus lagi mengenai tayangan favorit di kalangan ibu-ibu, remaja putrid, dan kaum hawa lainnya untuk menyaingi popularitas film seri dari barat yaitu : telenovela.

Perempuan dan Telenovela

Telenovela menjadi salah satu tayangan yang sempat fenomenal dan merajai beberapa stasiun televisi swasta kita —apalagi didukung oleh budaya latah, semakin sukseslah popularitas telenovela—serta menjadi tayangan yang identik dengan perempuan. Selama era 1970-an telenovela menjadi ekspor program televisi Amerika Latin yang cukup dominan, mewakili hampir 70 persen dari keseluruhan jam tayang yang dijual ke luar negeri. Di Indonesia, tidak ada pembedaan mengenai opera sabun dan telenovela. Karena memang dalam banyak hal kedua hal ini sangat mirip, kecuali dari daerah asalnya. Ada beberapa cirri umum dari opera sabun (lihat Allen, 1985, 1995; Ang, 1985; Buckingham, 1987; Dyer et al., 1981; Geragthy, 1991; via Chris Barker) yang dapat diringkas :
- Bentuk narasi dengan akhir mengambang. Opera sabun sebagai serial berjangka waktu panjang, bisa saja menjadi tak terbatas dalam menceritakan kisahnya.
- Lokasi Inti. Kebanyakan telenovela bertempat di suatu tempat yang mudah di identifikasi, alias familiar, dan disitulah tokoh-tokoh tersebut sering melakukan perannya.
- Ketegangan antara konvensi realisme dan melodrama. Realisme mengacu kepada seperangkat konvensi yang menyatakan bahwa drama tersebut merupakan representasi dari apa yang terjadi di ‘dunia nyata’ dengan tokoh-tokoh yang akrab dan masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Teknik narasi secara sengaja kemudian mengaburkan pandangan pemirsa bahwa tayangan tersebut hanyalah sebuah konstruksi di layer kaca, untuk semakin ‘menyatakan’ drama tersebut. Musik-musik yang dramatis, dan tayangan close up pun menjadi bumbu pelengkap yang sangat pas untuk membangun ketegangan dalam setiap episodenya, yang nantinya akan di-cut pada moment yang tepat, dan membuat penonton semakin penasaran.
- Tema yang berputar-putar dan hubungan interpersonal. Perkawinan, perceraian, putus hubungan, aksi balas dendam menjadi inti dari opera sabun, dan memberikan minat emosional pada cerita. Dan tema-tema ini yang kemudian berputar-putar di antara semua tokoh dalam drama tersebut dan akhirnya terbentuk sebuah imaji bahwa keluarga dalam drama akan terus-terusan cekcok satu sama lain.
Di Indonesia sendiri, demam telenovela dimulai pada saat sosok Maria Mercedes mampu menarik perhatian pemirsa. Dengan jalinan kisahnya, membuat orang-orang menjadi suka. Bahkan sang pemeran utama, yaitu Thalia, kemudian mendapat julukan ratu telenovela. Karena semua telenovela yang kemudian ditayangkan selanjutnya—Marimar, Maria Cinta Yang Hilang—menjadi perhatian tersendiri. Begitu banyak remaja putri, ibu-ibu rumah tangga, pembantu yang memberi perhatian lebih. Dan kenapa kaum hawa lebih menyukai tayangan ini?
Fokus dan reprenstasi perempuan telah diupayakan oleh sejumlah penulis feminis terhadap opera sabun ataupun telenovela, karena melalui media inilah motivasi perempuan kemudian disahkan dan dirayakan. Dikatakan (Ang, 1985; Hobson, 1982; Geraghty, 1991; via Chris Barker) bahwa tema sentral dari telenovela cocok dengan persoalan perempuan di wilayah domestik, sehingga telenovela adalah ruang dimana perhatian dan sudut pandang perempuan ditegaskan dan menjadi tempat perempuan bersenang-senang.
Telenovela pun menjadi semacam penyambung rasa diantara perempuan, sehingga mereka mempunyai satu perasaan yang sama. Dan hal ini paling berdampak pada pemirsanya tentu saja. Menurut Steven Caffe, prilaku ini kemudian disebut efek afektif yang menegaskan adanya perubahan sikap yang ditunjukkan oleh audiens terhadap media massa. Media disini berarti telenovela melalui perantara televisi dan perubahan yang kemudian tampak adalah, perasaan jengkel, senang, sedih, terhadap tokoh atau jalan cerita dari telenovela tersebut. Maka tak jarang tetesan air mata atau jeritan senang terdengar dari pemirsa telenovela ini, apalagi ketika ditonton secara ‘berkelompok’ maka suasana yang tercipta akan sangat seru, menyaingi pertandingan sepakbola. Dan mengapa hal ini bisa terjadi? Beberapa hal yang menjadi perhatian peneliti, mengenai prilaku penonton seperti ini, terkait dengan efek afektif yaitu :
- Suasana emosional (mood), yakni kondisi individu secara psikologis pada saat menonton tayangan tersebut.
- Skema Kognitif, yaitu gambaran dalam pikiran kita sendiri mengenai peristiwa yang menjelaskan peristiwa dalam telenovela
- Suasana terpaan (setting of exposure) yakni bentuk emosi yang ditularkan oleh individu lain yang menyaksikan tayangan yang sama
- Karakteristik khas individu
- Tingkat identifikasi khalayak dengan tokoh dalam telenovela (yang menunjukkan sejauh mana orang merasa terlibat langsung dengan sang tokoh)
Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh telenovela dengan menghadirkan sosok perempuan yang kuat dan berpikir independent sebagai tokoh utamanya. Sosok inilah yang nantinya menjadi idola para ibu-ibu, remaja putrid dan pembantu rumah tangga, karena dianggap hebat, mampu menghadapi semua masalah yang datang di dalam kehidupannya.
Tetapi, segala kejayaan dari sosok perempuan di telenovela, rupanya mendapat pendapat yang lain. Karena, sebagaimana dikemukakan oleh para komentator, ada protes dan penerimaan perempuan dalam telenovela (Geraghty, 1991; via Chris Barker). Memang, televisi sering kali melibatkan ideologi kontradiktif yang bersaing satu sama lain. Sebagai contoh, dalam telenovela perempuan ditampilkan sebagai peran utama, tetapi mereka juga sebagai pelengkap laki-laki. Karena secara ekonomi dan sosial, mereka tergantung kepada laki-laki sehingga anak-anak perempuan juga diarahkan untuk menikah dengan pilihan sang ayah. Di sisi lain, telenovela seringkali menampilkan perempuan yang menolak dan melawan dominasi dengan berbagai cara (ini disampaikan oleh Vink, 1988; via Chris Barker). Dan perempuan kemudian menjadi penyelamat dari keluarga yang dalam telenovela pun bersifat kontradiktif. Keluarga ditampilkan ideal, namun tercerai berai. Disinilah kemudian peran sang perempuan akan menjadi dewi penyelamat bagi semua orang. Dengan bermodalkan dua hal yaitu kasih sayang dan kepedulian. Apakah hal ini nantinya akan berlanjut pada pemirsa perempuan yang sudah sedemikian terpikat? Dan kemudian bentuk satu rasa ini akan melahirkan slogan, Maria oh Maria…












Daftar Pustaka

Wardhana, Veven SP
1995 Budaya Massa dan pergeseran Masyarakat.
Yogyakarta : Bentang.

Budiman, Kris
2002 Di Depan Kotak Ajaib, Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsi. Yogyakarta : Galang Press.

Barker, Chris
2000 Cultural Studies, Theory and Practice.
Londong : Sage Publications.

Diktat Mata Kuliah Psikologi Komunikasi